Cerpen: Ngidam



Tejo tak habis pikir, kenapa istrinya semakin hari semakin aneh saja. Dengan alasan ngidam, semua permintaannya tidak boleh ditolak. Selama ini semua permintaan Marni, istrinya, tak pernah terlewat. Selalu sukses dia lakukan. Tapi permintaan hari ini, sungguh diluar dugaan Tejo. Dia berusaha mencari cara agar Marni mengubah keinginannya itu.

"Sayang, kalau mangganya beli di pasar aja gimana. Kan, sama aja, Sayang," rayu Tejo mendayu-dayu agar Marni merubah keinginannya.

"Enggak bisa, Kang. Rasanya beda. Pokoknya aku mau mangga dari kebun Pakde Sapto. Dan harus Kang Tejo yang metik sendiri, enggak boleh orang lain. Titik. Kalau Kang Tejo enggak mau ambilkan buat aku, aku mogok makan sampai Kang Tejo bawain aku mangga dari kebunnya Pakde Sapto," ancam Marni tanpa toleransi.

Tejo tak berkutik mendengar ancaman istri kesayangannya itu. Kalau tidak ingat perjuangannya mendapatkan cinta Marni, bunga desa yang dipuja dan diperebutkan oleh hampir seluruh pemuda di desanya, Tejo pasti enggan untuk memenuhi permintaannya.
Bukan hanya itu, ada lagi alasan Tejo selalu memenuhi keinginan Marni. Marni punya senjata ampuh untuk membuat Tejo selalu patuh pada kemauan Marni. Gawai saktinya. Gawai Marni berisi nomor-nomor sakti yang bila ditekan, akan melengkapi derita Tejo sebagai suami.

Kalau Tejo terlihat ogah-ogahan memenuhi keinginan Marni, dengan sangat cekatan Marni menekan nomor sakti di gawainya. Dan tentu saja, Tejo akan mendapatkan wejangan dari orang-orang yang mau tidak mau harus didengar dan dipatuhi semua petuahnya. Wejangan yang bila ditulis bisa setebal skripsi.

"Denger yo, Le. Itu semua bukan maunya Mirna. Itu penjaluke anakmu. Jangan ditolak, jangan dibantah. Nanti kamu yang nyesel. Sudah ndak usah banyak alasan, dituruti aja maunya istrimu. Namanya juga orang ngidam, ya, gitu," kata ibu Tejo.

"Sabar yo, Le. Bapak yo ngono, pas ibumu dulu ngandung kamu. Ini ujian kita para suami, Le. Jadikan ladang ibadahmu. Yang penting hati istrimu senang, bahagia. Kalau ibunya seneng, bahagia, anakmu juga sehat, Le." Bapak menguatkan Tejo.

"Namanya juga ngidam, kadang yo aneh-aneh. Kamu yang sabar ya, Le. Demi anakmu, biar sehat. Supaya nanti besarnya enggak ngiler." Ibu mertua Tejo tak mau ketinggalan.

"Kamu yang sabar aja. Yang ikhlas, biar nanti sehat semua istri dan anakmu. Selama kamu bisa jangan ditolak. Biasanya perempuan kalau lagi ngidam lebih sensitif. Usahakan jangan sampai istrimu sedih karena pengaruhnya besar sama jabang bayi yang dikandungnya." Bapak mertua juga memberi masukan.

Selama ini tak ada yang terlewat satu pun kemauan Marni, tapi kali ini Tejo benar-benar pusing tujuh keliling.

"Menurutmu gimana ,Wan? Apa aku harus nurutin kemauan Marni, Wan?" Tejo berkonsultasi pada sahabatnya, Wawan.

"Yo, kudu to Kang. Berabe urusane Kang, kalau kamu enggak nuruti Yu Marni." Wawan berusaha memberi saran pada Tejo.

"Kamu bukannya dukung aku, malah nakutin aku," rungut Tejo.

"Bukannya nakutin, Kang. Tapi kamu kan, tahu gimana Yu Marni kalau enggak dituruti maunya," Wawan mencoba mengingatkan Tejo.

"Tapi kamu nemenin aku ke kebunnya Pakde Sapto, ya?" pinta Tejo.

"Ogahhhh... mending aku disuruh metik mangga 10 hektar dari pada disuruh ke kebunnya Pakde Sapto," kata Wawan sambil berlalu dari hadapan Tejo.

"Laaa...." Tejo pun menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Siang itu Tejo sengaja pulang lewat jalan memutar. Agak jauh memang, tetapi dia sengaja agar bisa melihat kebun Pakde Sapto.

Tejo menghentikan angkotnya di tepi jalan dekat kebun Pakde Sapto. Dia melihat pintu pagar kebun terbuka. Tejo ingin melihat ke dalam, siapa tahu dia bisa meminta buah mangga pesanan Marni. Kalau harus membayar pun Tejo tak keberatan.

"Cari siapa, Mas?" tiba-tiba bahu Tejo ditepuk dari belakang.

Tejo hampir pingsan karena terkejut. Untungnya dia cepat menguasai keadaan.

"Pakde Sapto ada, Lik?" tanya Tejo.

"Ada di dalam. Masuk aja, Mas. Pak Sapto di ujung dekat pohon mangga yang besar," kata orang yang bekerja memanen buah di kebun Pakde Sapto.

"Matursuwun, Lik." Tejo melangkah masuk ke dalam kebun yang teduh.
Kebun ini memang agak gelap. Sinar matahari hanya sedikit yang bisa menembus rimbunnya daun pohon-pohon buah di sini. Berbagai jenis pohon buah ditanam di sini, bahkan buah yang langka pun konon kabarnya ada juga.

"Pakde Sapto," panggil Tejo ketika melihat sosok orang yang dicarinya ada di bawah pohon mangga besar di ujung kebun. Tejo melihat ada seseorang memakai baju khusus yang menutup seluruh tubuh, kepala dan juga wajahnya.

"Jangan mendekat, Le. Tunggu di situ. Bahaya kalau kamu ke sini." Pakde Sapto memperingatkan Tejo.

Tejo menghentikan langkahnya untuk mendekat. Dia menunggu beberapa saat sampai Pakde Sapto menghampirinya.

"Ada apa, Le? Tumben kok mampir. Sudah lama enggak lihat kamu. Gimana kabar bapak sama ibumu?" tanya Pakde Sapto sambil menepuk bahu Tejo.

"Alhamdulillah Pakde, bapak dan ibu sehat," kata Tejo sambil mencium tangan Pakde Sapto.

"Maaf Pakde, Tejo ada sedikit hajat. Tejo mau meminta izin memetik buah mangga di kebun Pakde. Marni lagi ngidam, dia pengen makan buah mangga dari kebun ini," kata Tejo sedikit malu.

"Owalah, yo boleh to, Jo. Ambil seberapa kamu mau. Enggak usah bayar. Tapi nanti, setelah lebah madunya diusir dulu. Nanti kalau madunya sudah selesai diambil, kamu boleh ambil mangganya. Enggak lama kok, Le," kata Pakde Sapto sambil tertawa.

"Selamat yo, Le. Sudah mau jadi bapak to kamu." Pakde Sapto menepuk-nepuk pundak Tejo.

"Terima kasih Pakde. Tapi beneran enggak apa-apa saya ambil buahnya. Soalnya saya dengar pohon mangganya ada yang nunggu," kata Tejo lagi.

"Ha ha ha... Iya ada yang nunggu. Itu yang nunggu lagi diusir." Pakde Tejo tertawa terbahak-bahak sambil menunjuk lebah-lebah madu yang panik karena sarangnya diasapi.

Tejo manggut-manggut sambil tersenyum. Ternyata itu penunggu pohon mangga Pakde Sapto yang ditakuti. Tejo tersenyum sendiri. Ternyata rumor tentang hantu di kebun ini cuma cara Pakde Sapto menjaga supaya pohon buahnya tidak diganggu predator yang bernama manusia.

Tejo pulang dengan senyum mengembang di wajahnya. Dia membayangkan wajah Mirna yang bahagia melihat buah mangga yang diidamkannya bisa Tejo bawa pulang.

Tejo memarkir angkot agak jauh dari rumahnya, dia mau memberi kejutan pada Marni.
Tejo membuka pintu pagar rumahnya hati-hati sekali. Dia tak mau Marni mendengar dan terbangun dari tidur siangnya. Tapi, Tejo seperti mendengar suara orang yang sangat dikenalnya. Perasaan Tejo sudah tak karuan. Apa yang dia lakukan di dalam kamar tidurnya siang-siang begini.

"Kamu memang pintar, Marni. Tapi apa enggak keterlaluan kamu ngerjain Kang Tejo? Kalau dia ndak bisa ambil mangga dari kebun Pakde Sapto gimana?" Suara laki-laki itu bertanya pada Marni.

"Aku bakal minta cerai, Kang. Biar nanti aku bisa nikah sama kamu. Lagian ini juga anakmu Kang Wawan," jawab marni manja.

Bagai terkena petir di siang bolong. Buah mangga di tangan Tejo jatuh berhamburan ke lantai. Tak menyangka selama ini Marni dan Wawan sahabatnya sudah menikamnya dari belakang.



Weedee_Shanhai_14112018

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Izinkan aku mencintaimu dengan caraku ...

CINTA MEY LING

SEPENGGAL KISAH TENTANG KITA