RIANTI
RIANTI
Rianti
memeluk jenazah buah hatinya. Dia berjalan perlahan menyusuri koridor rumah
sakit. Banyak mata menatapnya iba, tapi dia tak peduli. Dia hanya ingin membawa
pulang jasad putra tunggalnya ke rumah. Kemudian mengantarkannya ke tempat peristirahatan
terakhirnya dengan layak.
“Rianti
...,” Panggil seseorang yang sangat dikenalnya.
Rianti
menghentikan langkahnya, menoleh ke arah suara itu. Berusaha tersenyum walau
kaku. Setengah berlari, lelaki itu menghampirinya.
“Sini,
biar aku yang gendong Zaid,” katanya seraya mengulurkan tangannya hendak meraih
jasad Zaid dari gendongan ibunya.
“Tidak,
Mas Pras terima kasih. Biar aku saja. Biarkan aku menikmati detik-detik terakhir
menggendong anakku, sebelum aku mengantarkannya ke rumah terakhirnya besok,”
kata Rianti sambil mencegah tangan Prasetyo meraih tubuh Zaid dari
gendongannya.
Prasetyo
mengalah, dia tak ingin membuat Rianti bertambah sedih. Kehilangan buah hatinya
pasti membuatnya terpukul. Apalagi selama ini Rianti mengurus semuanya sendiri.
***
“Papanya
Zaid belum pulang Mbak Rianti?” tanya pak RT yang membantu mengurus pemakaman
putra semata wayangnya.
“Belum,
Pak RT,” jawab Rianti tanpa semangat.
“Kita
makamkan Nak Zaid sekarang atau menunggu Papanya pulang?” tanya Pak RT lagi.
“Makamkan
saja sekarang, Pak. Enggak apa-apa,” kata Rianti pasrah.
“Baik
Mbak Rianti, kalau maunya begitu,” ucap Pak RT sambil memandang iba pada
Rianti.
‘Percuma
menunggu kamu pulang, Mas. Karena kamu gak akan pernah pulang,’ kata Rianti dalam
hati.
***
“Rianti,
sebaiknya kamu jangan pergi dulu dari sini. Setidaknya tunggu sampai seratus
hari anakmu. Kalau tidak sampai Mas Sapto pulang,” kata Prasetyo memberi saran.
Rianti
hanya menggeleng, sambil tangannya memberesi barang-barang pribadinya dan
memasukkannya ke dalam koper miliknya.
“Enggak
bisa Mas Pras, tiga hari lagi kontrakanku habis. Aku sudah tak ada uang untuk
membayar kontrakan ini. Mas Pras tahu sendiri, aku sudah tak memegang uang
sepeser pun. Kalau tak ada kamu, entah dengan apa aku harus membayar biaya
rumah sakit dan juga biaya pemakaman Zaid,” kata Rianti.
Tak
urung air matanya pun jatuh mengalir membasahi pipinya. Air mata yang selama
ini dia tahan agar tak jatuh. Bahkan ketika Zaid dimasukkan ke liang lahad, Rianti
tetap bertahan agar tak menangis walau pada akhirnya dia tumbang, pingsan
setelah jasad putra kesayangannya ditimbun tanah merah.
“Kamu
enggak usah kawatir, biar aku yang bayar kontrakan kamu. Yang penting kamu di
sini dulu, tunggu suamimu datang,” kata Prasetyo berusaha mencegah niat Rianti.
“Aku
enggak mau terus-terusan merepotkan kamu, Mas Pras. Kamu sudah terlalu baik
padaku dan Zaid,” kata Rianti seraya menyeka bulir bening yang mengalir dari
sudut matanya yang bulat.
“Aku
tak pernah merasa kamu repotkan. Aku hanya sekadar membantu selama Mas Sapto
pergi. Zaid juga sudah aku anggap seperti anakku sendiri,” kata Prasetyo
“Terima
kasih Mas Pras, selama ini kamu sudah terlalu baik pada kami,” kata Rianti
sambil menangis.
‘Tentu saja aku harus baik pada kamu
dan juga anak kandungku, Rianti. Seandainya aku punya keberanian mengatakan
semua ini, tentu Mas Sapto tak akan menyia-nyiakanmu,’ kata
Prasetyo dalam hati.
“Tunggulah
Mas Sapto pulang dulu, Rianti. Biar statusmu tak digantung seperti ini,” kata
Prasetyo memberi masukan pada Rianti.
Rianti
tetap bersikukuh untuk secepatnya pergi dari rumah kontrakannya. Sebelum
semuanya terbongkar.
***
Rianti
harus secepatnya pergi dari rumah ini. Rumah yang penuh dengan kenangan pahit
bersama suaminya. Namun, penuh cerita indah yang tercipta bersama Zaid, buah
hati kesayangannya.
Dendam
dan sakit hati pada suaminya, memuncak ketika malam itu Mas Sapto menghajar
Zaid yang berusaha melindungi Rianti dari amukannya karena kalah berjudi.
Bocah
berumur lima tahun itu terbaring bersimbah darah setelah di hajar oleh Mas
Sapto. Melihatnya tak bergerak, membuat Rianti kalap. Entah kekuatan dari mana
yang membuat Rianti melangkah ke dapur dan mengambil pisau yang paling tajam.
Setelah
mengantar Zaid ke rumah sakit, dan meminta Prasetyo menemaninya di sana, Rianti
bergegas pulang untuk membereskan rumahnya yang berantakan. Rumahnya berantakan
setelah kejadian semalam. Ada sesuatu yang harus dihilangkan oleh Rianti. Dia
tak ingin ada yang tahu. Biar hanya dia dan Tuhan yang tahu kejadian semalam.
Hidupnya jadi taruhan bila sampai ada yang tahu.
Rianti
berdiri di pinggir sungai belakang rumahnya, pelan-pelan dia melemparkan sesuatu
ke derasnya air sungai. Beberapa kali Rianti melakukannya. Hingga potongan
terakhir yang dia bungkus dengan plastik berwarna hitam. Tak lupa, dia ikatkan
batu sebagai pemberat agar benda itu tak mengapung.
‘Maafkan aku Mas, hanya dengan cara ini aku
bisa terbebas darimu. Maafkan bila tempatmu tak layak sebagai tempat istirahat
terakhirmu,’ gumamnya pada diri sendiri.
***
Masih
terbayang betapa sakit hati Rianti, ketika suaminya memperlihatkan rekaman dirinya yang
tak berdaya karena pengaruh obat bius, tengah digauli oleh Prasetyo, sahabat
suaminya.
“Sudahlah
jangan sok suci, toh kamu juga menikmati uang hasil kerjamu,” kata lelaki
jahanam itu pada Rianti.
Rianti
tak bermaksud membunuh suaminya, tapi dia tak tahu bagaimana caranya agar bisa
lepas dari deritanya, dari lelaki yang sudah menjual tubuhnya dan juga membunuh
anaknya.
Weedee
Shanhai
412019
Oh OMG, hidup yang complicated, saking tertekannya Rianti bahkan gak ada rasa bersalah dan ngeri sedikit pun. Btw, apakah dia memutilasi Mas Sapto?
BalasHapuskayanya mak...
HapusNgerih bangeet sih mba ceritanya, huhu. Tapi keren euy, bikin pembaca penasaran dan dag dig dug pas bacaa. Sukses selalu mbaa
BalasHapusmakasih mak...sukses juga ya...
HapusWar biasaaaa Maak, imajinasimu, syukaaaakš
BalasHapusada yg bilang terlalu sadis imajinasiku mak...hihihi
Hapusbalas pesan dari kemarin...kenapa gak nongol ya di web??
BalasHapusCerita yang bagus mbak, ada sambunganya?
BalasHapusgak mba...cuma fikmin
HapusWah sampai deg-degan bacanya. Semoga tidak terjadi di dunia nyata ya...
BalasHapusngeri mba...heboh nanti dunia persilatan...hihihi
HapusYa ampuuunnn kereeen ceritaaanyaaa,
BalasHapusPsikopaat juga riantii