Lupa
Gambar oleh <a href="https://pixabay.com/id/users/cocoparisienne-127419/?utm_source=link-attribution&utm_medium=referral&utm_campaign=image&utm_content=2353703">cocoparisienne</a> dari <a href="https://pixabay.com/id/?utm_source=link-attribution&utm_medium=referral&utm_campaign=image&utm_content=2353703">Pixabay</a>
Lupa
by: Weedee
Mataku terbuka
perlahan, gelap sekali. Tidak ada sedikitpun cahaya. Napasku terasa sesak,
pengap, dan seperti ada yang mencekikku.
‘Aku dimana?’
gumamku pada diri sendiri.
‘Bau apa ini?”
tanyaku lagi entah pada siapa.
Aku mencoba menggerakkan
tubuhku yang terasa kaku. Kucoba berkali-kali, tetapi tetap saja aku merasa
terikat. Siapa yang mengikatku? Mengapa aku diikat seperti ini? Apa salahku?
Bertubi-tubi
pertanyaan muncul di benakku. Apa yang terjadi padaku? Aku mulai
menangis, sedih, takut, geram, dan marah menjadi satu yang pada akhirnya
bermuara di sudut mataku. Seumur hidup aku pantang menangis. Sesakit apa pun,
seduka apa pun, aku tak pernah menangis. Namun, hari ini air mataku tumpah bak
air bah. Aku merasakan air mataku yang asin. Bertambah heran, mengapa air mata
ini justru membasahi seluruh wajahku. Ah, aku baru sadar, wajahku terbungkus kain.
Pantas saja
napasku terasa berat dan tidak nyaman. Aku berusaha membuka pembungkus wajahku
dengan cara menggesek-gesekkannya pada lantai tanah karena tanganku tak
mungkin aku gunakan. Akhirnya ada celah terbuka di ujung hidung mancungku. Aku
mencoba menarik napas, menghembuskannya lagi, nikmat sekali rasanya.
Entah sudah
berapa lama aku di sini. Aku baru menyadari bau yang sejak tadi aku hirup
adalah bau tanah lembab. Aku mengintip dari celah yang terbuka di sudut mataku
dekat hidung, sebuah liang yang tertutup tanah. Ada celah tak begitu lebar di
kiri kananku, aku mulai panik.
‘Apakah aku ...
tidak mungkin!’ Pertanyaan yang aku sanggah sendiri semakin membuatku panik dan
ketakutan.
‘Siapa yang tega
menguburkan aku di sini?’ tanyaku sambil menangis.
‘Apakah Emak tahu
aku dikubur di sini?’ Seketika ingatanku melayang pada sosok perempuan renta
yang sudah membesarkan aku seorang diri sejak bapak pergi entah kemana dua
puluh tahun yang lalu.
‘Emaaakkk ...,’
teriakku tersekat.
Aku ingin
berteriak sekuat-kuatnya agar ada orang yang tahu keberadaanku. Berharap
yang mendengar teriakkanku akan mengeluarkan aku dari liang jahanam ini.
Tiba-tiba, ada yang merayapi kakiku, seketika aku berjingkat ketika
melihat ada lipan sebesar ibu jari orang dewasa dengan santainya berjalan di
atas kaki menuju tubuh bagian atas.
Aku bertambah
panik dan jijik. Tubuhku mulai bergerak tidak beraturan dan menghantam dinding
tanah berkali-kali. Semakin aku bergerak semakin banyak hewan menjijikkan
muncul dan mulai mengerubuti tubuhku. Aku semakin liar bergerak, berusaha
menepis berbagai jenis binatang yang mulai menghampiri.
Plak.
Mataku hampir
saja copot melihat seekor Kalajengking berukuran besar tiba-tiba jatuh tepat di
atas dahi. Aku semakin panik dan marah. Kugelengkan kepala dengan hati-hati
agar si Kalajengking tidak menyengat karena terkejut, tetapi dia masih
bertengger dengan angkuhnya di dahi. Seakan ingin mengumumkan kepalaku adalah
bagiannya.
‘Sialan!’ umpatku
dengan geram.
Aku berusaha
duduk bersandar pada dinding tanah di atas kepala. Perlahan beringsut mendekati
dinding dekat kepala. Hati-hati sekali aku bergerak. Semoga dia tidak menyengat karena aku pernah mengalaminya, tetapi jangan tanya bagaimana
rasanya karena kamu tidak akan sanggup, biar aku saja yang merasakan.
Perlahan aku
bergerak, dan dengan sekuat tenaga kubenturkan dahi pada papan kayu yang
menutup liang dimana aku dikuburkan. Seketika tubuh sang Kalajengking hancur.
Cairan berbau anyir dan membuat mual membasahi wajahku. Namun, seketika aku
tersenyum.
Hantaman keras
tadi ternyata tidak hanya melumatkan tubuh binatang menakutkan itu. Tenagaku yang cukup kuat mampu menghancurkan papan yang menutupi liang
tanah ini. Kaki kuangkat untuk menghancurkan papan-papan keparat yang
memisahkan aku dengan dunia luar. Entah berapa lama aku berusaha membuat jalan
keluar dari sini. Hingga akhirnya ...
Bruuukkk ...
Tanah yang ada di
atas papan itu menimpa tubuhku yang mulai kelelahan. Aku terkejut, tidak
menyangka bahwa sudah disiapkan jebakan yang lebih besar untukku. Mereka
benar-benar tidak ingin aku keluar dari sini. Aku terkubur lagi!
Tubuhku yang
kelelahan seakan pasrah dengan timbunan tanah merah dan lembab itu, aku sudah
tak berdaya. Hanya keajaiban yang akan mengeluarkanku dari sini. Aku mulai
menangis memikirkan kesedihan emak yang sedang menunggu kepulangan anak
kesayangannya ini.
‘Emak ... Emak
...,’ rengekku memanggil perempuan yang sangat hebat tiada duanya di dunia ini.
Tiba-tiba, aku
merasa tubuhku dingin. Seperti ada yang mengalir dari atas. Perlahan-lahan
tanah yang menutupi tubuhku terkikis sedikit demi sedikit.
“Hujan ... terima
kasih Tuhan,” ujarku kegirangan.
Aku bangkit
dengan semangat baru. Tubuhku yang masih terikat mulai bergerak tak beraturan
lagi. Hingga akhirnya aku bisa merasakan udara segar dan tetesan air hujan yang
deras menerpa wajahku. Aku terus berusaha sekuat tenaga keluar dari liang lahat
yang sudah menguburku.
“Lihat saja, aku
akan cari kalian yang sudah membuatku tersiksa seperti ini!” ancamku
sungguh-sungguh.
Aku menggunakan
semua kemampuan tubuhku untuk bisa sampai keluar dari sini. Memang benar kata
semboyan yang selalu diucapkan oleh orang-orang, hasil tak akan mengkhianati
usaha. Ya, aku berhasil keluar dari lubang yang sudah memisahkanku dengan dunia. Hilang penat di sekujur tubuh, kunikmati tiap tetes air hujan yang mulai
membasuh kotoran yang menempel di kain pembungkusku.
Perlahan aku
bangkit, hujan sudah agak reda ketika aku mulai berjalan, ah bukan, aku melompat
menyusuri jalan setapak kecil menuju pinggir jalan yang agak terang. Aku
berusaha melompat dengan kuat agar lompatanku bisa jauh dan aku cepat sampai di
rumah.
Tiba-tiba ada
sorot lampu dari belakang. Aku berhenti dan mencoba meminta tolong, tetapi
mobil itu malah menambah laju kendaraannya untuk menghindariku.
‘Sombong! Lihat
ntar kalau gue punya mobil!’ gerutuku sambil meneruskan melompat menuju
rumahku.
Ada sorot lampu
motor dari arah depan.
‘Semoga tukang
ojek, jadi bisa mengantar aku pulang,’ Doaku dalam hati.
Namun, lagi-lagi
pengendara motor itu malah menghindar dan langsung ngebut begitu jarak kami
sudah dekat.
Belum sempat aku
bicara, motor itu sudah entah ada di mana. Akhirnya aku melanjutkan perjalanan.
Berharap masih ada orang yang mau menolong untuk mengantarkanku pulang menemui
emak. Kasihan emak kalau aku tidak pulang-pulang. Biasanya emak tidak berselera
makan dan tidak bisa tidur sebelum aku sampai rumah dengan selamat.
‘Alhamdulilah,
sudah dekat,’ ujarku dengan napas tersengal.
Melompat ternyata
bukan pekerjaan mudah. Butuh tenaga ekstra dan kaki yang kuat juga keseimbangan
tubuh yang harus selalu diperhatikan agar tak mudah jatuh. Aku melihat beberapa
orang sedang duduk-duduk di pos ronda. Aku tersenyum lega melihat tetanggaku
yang semua aku kenal dengan baik. Belum lagi mendekat, beberapa orang sudah
lari tunggang langgang begitu menyadari kehadiranku. Bahkan, Pak Banu seketika
pingsan di pos ronda.
Aku mengernyitkan
dahi, tak mengerti mengapa mereka seperti tidak mengenaliku. Ah, biarlah bukan
urusanku. Aku ingin segera sampai rumah, mandi, dan makan nasi goreng buatan emak
yang paling lezat sedunia.
Rumahku ada di
belakang pos ronda. Hanya rumah sepetak yang ada disudut kampung. Dinding
sebelah rumah kami adalah tembok pembatas milik Pak Haji Ridwan, tetangga
sebelah rumah. Untung beliau tidak keberatan kami menumpang temboknya. Kalau
tidak, rumah kami tak berdinding.
Aku menuju pintu
yang masih terbuka lebar, tikar-tikar masih tergelar. Beberapa orang sedang
membereskan gelas dan piring bekas sajian. Tiba-tiba salah seorang perempuan
menatapku, tangannya yang sedang memegang satu nampan berisi gelas gemetar.
Prang!
Nampan dan gelas
jatuh berserakan di lantai semen yang tertutup tikar pinjaman dari RT.
“Ade ape Mpok?”
bergegas beberapa perempuan keluar, memastikan apa yang terjadi.
“I-i-i-tu ...,”
ujarnya gagap seraya menunjuk padaku yang berdiri tepat di depan pintu.
“Aaaaaa ...,”
Serempak
perempuan-perempuan itu berteriak sebelum akhirnya pingsan. Aku kebingungan,
mengapa semua orang pingsan setiap kali melihatku? Ada apa ini? Aku penasaran!
Aku mencoba masuk ke rumah, berniat mencari emak dan meminta penjelasannya.
Untungnya emak
langsung keluar begitu mendengar jeritan ibu-ibu tadi.
“Maak ...,”
panggilku memelas.
Emak terpaku,
bergeming di tempatnya. Menatapku dengan mata terbelalak, sebelum akhirnya ...
pingsan.
Tiba-tiba aku
melihat bayanganku di cermin. Ya, Tuhan ...
Aku lupa, tiga
hari yang lalu, aku dipukuli aparat ketika sedang menonton demonstrasi
mahasiswa dekat jalan layang di depan gang rumahku. Entah berapa orang
berseragam yang sudah menghajarku hingga babak belur. Tengkorak kepala terbelah, tulang dada terasa sakit karena ada yang patah dan patahannya
menusuk paru-paru hingga terjadi pendarahan hebat. Tulang kaki remuk,
tangan kiri sudah tak lagi bisa kurasakan. Sendi dan lutut hancur tak
berbentuk.
Tiga hari yang
lalu aku dipulangkan dari kantor polisi dalam keadaan terbungkus kain kafan.
Weedee, Taipei,
7102019
Komentar
Posting Komentar