Izinkan Aku Mencintaimu Dengan Caraku
Part
2
“Ratih?” sapa seorang perempuan
berhijab tepat di depanku.
Aku menatapnya dengan
dahi berkerut. Sama sekali tidak ada gambaran bahwa aku pernah mengenal sosok
itu.
“Kamu Ratih, kan? Aku
Zira. Kita sekelas di IPS 1, kamu lupa?” tanya perempuan yang mengaku bernama
Zira.
Otakku berusaha keras
mengingat seorang teman masa SMA bernama Zira. Perempuan itu masih menatapku
dengan penuh harap aku akan mengingatnya. Tiba-tiba, ingatanku menangkap satu
petunjuk.
“Zira ... fah?” ucapku
ragu karena takut menyinggungnya.
Zira tertawa keras.
“Kamu masih ingat
julukanku rupanya. Iya, kawan satu geng kamu memanggilku Zirafah.” Senyumnya mengembang
tulus dengan binar mata bahagia karena aku berhasil mengingatnya.
Ingatanku melayang pada
saat kami masih SMA. Zira yang selalu menjadi korban perundungan kami, terutama
gengku. Dulu dia sangat cupu, anak perempuan yang sama sekali tidak modis. Penampilannya
yang sangat sederhana, dengan kerudung yang tidak baru serta baju seragam yang warnanya
sudah pudar. Maklum, Zira hanya anak dari penjaga sekolah yang tinggal di
belakang sekolah dekat gudang dan tempat anak bolos sembunyi.
“Kamu masih cantik,
Ratih. Badan kamu juga masih bagus. Anak dan suami kamu di sini juga?” Zira
tidak berhenti menatapku dengan kekaguman saat kami duduk di sudut kafe yang
ada di lantai dua Plaza Ambarukmo.
“Kamu juga cantik, Ra. Anak
kamu berapa? Anakku dua, jagoan semua,” ujarku berusaha mengalihkan pertanyaan
tentang suamiku.
“Masa? Kita bisa besanan,
nih. Anakku dua, cewek semua.” Kami tertawa mengetahui fakta yang sangat
kebetulan itu.
Taktikku mengalihkan
perhatian Zira kepada sosok suamiku berhasil. Setidaknya setengah jam setelah
itu, kami berbincang tentang anak-anak dan sesekali meng-ghibah kawan-kawan
kami di masa lalu. Tentu saja tawa kami selalu menghiasi sepanjang obrolan yang
penuh kenangan itu.
Tidak terasa, es teler alpukat
kesukaan kami sudah tandas tak bersisa. Aku melihat jam tanganku, sudah waktunya
menjemput Gaza dan Dafa. Baru saja mulutku terbuka untuk berpamitan, tiba-tiba
Zira melontarkan pertanyaan yang sejak tadi aku hindari.
“Eh, Ratih, suami kamu
kerja di mana? Di sini atau di Jakarta?” Mata Zira menatapku nyaris tidak berkedip.
Tubuhku mematung. Lidahku kelu walau aku samarkan dengan senyum.
“Aku sudah bercerai, Ra.”
“Oh, maaf. Aku enggak
tahu.” Wajah Zira terlihat menyesal. Dia menggenggam tanganku dengan mimik
sedih yang tulus.
“Aku benar-benar enggak
tahu.”
“Enggak apa-apa. Memang
enggak aku umumin, kok,” candaku berusaha mengurai kekakuan yang tiba-tiba
menyelimuti kami.
“Iya, kali diumumin pakai
toa masjid.” Kami tertawa mendengar candaan Zira.
Kekakuan yang sempat
hadir tadi, akhirnya cair juga. Kami beriringan berjalan ke luar kafe. Sejujurnya,
ini pertama kali aku berada sedekat ini dengan Zira. Padahal kami tiga tahun
satu kelas semasa SMA. Zira yang cupu dan culun, kini menjelma menjadi wanita
dewasa yang penuh pesona. Keanggunannya sempat membuatku kagum walau hanya
dalam hati saja.
“Habis ini mau ke mana?” Zira
mengeluarkan kunci dari dalam tasnya. Aku yakin itu kunci mobil. Diam-diam aku
merasa rendah diri di dekatnya.
“Jemput Dafa.”
“Mau aku antar?” tawar
Zira.
“Enggak usah, nanti
merepotkan. Sekolahnya Dafa dekat dari sini,” tolakku secara halus.
“Di SDIT dekat perempatan
depan sana? Anakku juga sekolah di situ.” Lagi-lagi kami tertawa mengingat kebetulan-kebetulan
yang terus saja menyertai pertemuan ini. Akhirnya kau tidak punya alasan lagi
untuk menolak ajakan Zira. Seandainya Zira seorang pendendam, aku tidak yakin
dia akan mau menegurku terlebih dulu. Sejujurnya aku malu bila mengingat apa
yang telah aku dan gengku lakukan kepadanya saat SMA dulu.
Pertemuanku dengan Zira, hari
ini ternyata adalah cara Allah mempertemukan aku dengan seseorang dari masa
laluku. Seseorang yang pernah mengisi hari-hariku dengan cinta walau akhirnya
harus kandas dan menyisakan rindu yang tak pernah tuntas.
Weedee_Taipei_8122021
Komentar
Posting Komentar